
Sengketa Thailand dan Kamboja telah berlangsung selama lebih dari satu abad. Perselisihan ini berpusat pada wilayah di sekitar Candi Preah Vihear dan garis perbatasan pegunungan Dangrek. Konflik yang bermula dari kesalahan peta kolonial tahun 1907 ini terus berlanjut hingga pertempuran terbuka pada tahun 2025.
Selain itu, faktor politik dan nasionalisme kedua negara sering kali memperkeruh hubungan diplomatik yang seharusnya dapat diselesaikan secara damai. Oleh karena itu, memahami akar sejarahnya menjadi penting untuk melihat mengapa sengketa ini sulit diakhiri.
Baca Juga : Tsue to Tsurugi no Wistoria Season 2 Rilis April 2026, Siap Bawa Aksi dan Sihir Baru!
Awal Mula Demarkasi: Perjanjian 1907 dan Peta Kolonial
Pada tahun 1907, Prancis dan Siam (nama lama Thailand) menandatangani perjanjian untuk menetapkan batas antara Indochina Prancis dan Siam. Berdasarkan peta “Annexe I” yang dibuat oleh pihak Prancis, Candi Preah Vihear secara jelas berada di wilayah Kamboja.
Namun, Thailand kemudian menolak keabsahan peta tersebut. Mereka menyatakan bahwa proses pemetaan tidak dilakukan secara bersama dan oleh karena itu tidak sah secara hukum. Akibatnya, kedua negara memiliki versi peta berbeda yang memunculkan sengketa berkepanjangan.
Keputusan ICJ 1962: Kemenangan Kamboja yang Tak Menyelesaikan Masalah
Setelah kemerdekaan Kamboja, perdebatan mengenai Preah Vihear semakin panas. Pada tahun 1959, Kamboja membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional (ICJ). Hasilnya, pada 1962 ICJ memutuskan bahwa Candi Preah Vihear memang terletak di wilayah Kamboja.
Meskipun demikian, keputusan tersebut tidak mencakup wilayah seluas 4,6 kilometer persegi di sekitar candi. Area ini tetap menjadi sumber ketegangan karena kedua negara menafsirkan batasnya secara berbeda. Oleh sebab itu, konflik kecil di sekitar lokasi tersebut terus terjadi dari waktu ke waktu.
Ketegangan Modern: Status UNESCO dan Bentrokan 2008–2011
Empat dekade kemudian, ketegangan kembali meningkat. Pada tahun 2008, Kamboja berhasil mendaftarkan Candi Preah Vihear sebagai situs warisan dunia UNESCO. Keputusan ini memicu protes keras dari Thailand yang merasa wilayah di sekitar candi masih dipersengketakan.
Akibatnya, bentrokan bersenjata terjadi di perbatasan. Sementara itu, hubungan diplomatik kedua negara memburuk hingga akhirnya Kamboja meminta ICJ menafsirkan ulang keputusan lama. Pada 2013, ICJ menegaskan bahwa area kuil dan promontorinya berada di bawah kedaulatan Kamboja. Namun, masalah batas tetap belum terselesaikan sepenuhnya.
Konflik 2025: Pertempuran Terbaru di Perbatasan
Pada pertengahan 2025, sengketa Thailand dan Kamboja kembali membara. Pertempuran pecah di sekitar wilayah Preah Vihear dan Ta Muen Thom pada 24 Juli. Kedua pihak saling menembakkan artileri dan menggunakan pesawat militer.
Akibat pertempuran ini, ratusan ribu warga sipil di kedua sisi perbatasan harus mengungsi. Selain itu, sejumlah situs bersejarah di sekitar lokasi rusak parah akibat serangan. Meskipun kedua pemerintah berupaya menahan eskalasi, pertempuran terus berlanjut selama beberapa minggu.
Penyebab Utama Konflik Terbaru
Beberapa hal memicu kebangkitan konflik 2025. Pertama, adanya perbedaan tafsir terhadap peta kolonial 1907. Kedua, keputusan ICJ tahun 1962 dan 2013 dianggap tidak cukup jelas oleh Thailand. Ketiga, meningkatnya sentimen nasionalisme dan tekanan politik dalam negeri turut memperburuk situasi.
Selain itu, masih ada sengketa atas candi lain seperti Ta Muen Thom dan Ta Krabey. Semua faktor tersebut membuat proses diplomasi sulit mencapai hasil konkret.
Upaya Diplomasi dan Referendum Thailand
Pada September 2025, Thailand mengusulkan referendum nasional untuk meninjau kembali dua perjanjian perbatasan lama dengan Kamboja yang ditandatangani pada 2000 dan 2001. Langkah ini menunjukkan bahwa masalah perbatasan dianggap belum final oleh Bangkok.
Sementara itu, berbagai organisasi internasional menyerukan agar kedua negara kembali ke meja perundingan dan menghormati keputusan ICJ. Namun, upaya perdamaian berjalan lambat karena ketidakpercayaan yang sudah lama tertanam di kedua pihak.
Dampak Konflik terhadap Warga dan Kawasan
Dampak terbesar sengketa Thailand dan Kamboja tentu dirasakan oleh warga yang tinggal di wilayah perbatasan. Banyak dari mereka kehilangan rumah, mata pencaharian, dan akses terhadap pendidikan serta kesehatan.
Selain itu, ketegangan yang berkepanjangan juga memengaruhi stabilitas ekonomi kawasan. Jalur perdagangan lintas batas terhenti, pariwisata menurun, dan investasi asing menunda proyek di daerah terdampak.
Kesimpulan
Sengketa Thailand dan Kamboja bukanlah konflik sederhana yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Ia berakar dalam sejarah kolonial dan terus diperkuat oleh perbedaan politik, nasionalisme, dan kepentingan ekonomi.
Oleh karena itu, solusi damai yang berkelanjutan hanya bisa dicapai melalui dialog jujur, transparansi peta batas, dan penghormatan terhadap hukum internasional. Pada akhirnya, masa depan hubungan Thailand dan Kamboja bergantung pada kemampuan kedua negara untuk mengubah rivalitas lama menjadi kerja sama baru demi stabilitas kawasan Asia Tenggara.










